Makna Dibalik Apem, Ketan, dan Kolak

Minggu, 17 Juli 2011

Pada hari minggu, aku dan keluarga besarku berkumpul di rumah mbah Buyut Pujo Sudarmo untuk membuat makanan yang selalu rutin kami buat pada bulan Ruwah (satu bulan sebelum bulan Ramadhan) seperti Apem, Ketan dan Kolak. 

Dengan sigap dan terampil tanganku membalik apem yang telah matang dari wajan khusus untuk membuat Apem, berkat kursus singkat dan trik untuk menaklukan si apem dari Bu Lik Imur sesaat sebelum aku terjun kedalam pergulatan dengan Apem (he..he..lebayy...). Adonan apem rasa durian yg yummy telah dibuat dari malam hari sebelum paginya digoreng agar adonan bisa “mumbluk” dan pada waktu digoreng apem bisa empuk dan berbentuk “nyempuk” dan cabi…senyempluk dan secabi pipiku… Setelah berjibaku membuatnya akhirnya si apem, ketan dan kolak sudah matang dan siap dihantarkan kepada keluarga dan tetangga terdekat. Berkat kerja sama tim keluargaku yang sebelumnya kami mengambil undian untuk mendapat jatah membuat disektor apem, ketan atau sektor kolak. Maklum, kami adalah keluarga besar dan tiap bulan Ruwah kami mempunyai tradisi untuk membuat ketan, kolak dan apem dan dengan mengundi maka akan bisa menambah pengetahuan dan ketrampilan membuat ketiga makanan tradisional tersebut. Dengan melibatkan cucu dan kaderisasi dari yang tua kepada yang lebih muda dari Bu Dhe dan Bu Lik diharapkan dari generasi muda keluarga mbah Buyut senantiasa meneruskan dan nguri-uri kebudayaan Ruwahan.

Sambil membuat dan membolak-balik apem sempat terbesit pertanyaan kenapa dibulan ruwah harus membuat apem, kolak dan ketan ? kenapa tidak membuat yang lainnya seperti cake keju, kue bikang, brownis, atau makanan yang lebih keren dimasa saat ini ?. Karena penasaran akhirnya aku mencari tahu kepada mbah Google dan akhirnya kutemukan jawaban yang setidaknya bisa menjawab pertanyaanku diatas. Begini kata mbah Google menjawab pertanyaan yang kuajukan :
Dalam tradisi kebudayaan Jawa, persiapan kehadiran bulan ramadhan telah dilaksanakan sejak sebulan sebelumnya yang dalam penanggalan Jawa jatuh pada bulan Ruwah (disadur dari kata Arab, arwah, yaitu jiwa orang yang meninggal). Dalam terminologi Jawa, kata Ruwah dikaitkan dengan roh. Bulan Ruwah kemudian dipercaya sebagai saat yang tepat untuk ngluru arwah atau mengunjungi arwah leluhur.

Selama bulan Ruwah itu masyarakat Jawa mengadakan upacara Nyadran (berasal dari kata Sraddha), mengunjungi makam leluhur untuk membersihkan makam dan menabur bunga. Upacar Sraddha ini dilakukan sejak Kerajaan Majapahit. Dalam bukunya yang berjudul Kalangwan, Sejarawan Zoetmulder juga mengisahkan Upacara Sraddha pernah dilaksanakan untuk mengenang wafatnya Tribhuwana Tungga Dewi pada tahun 1352. Setelah agama Islam masuk ke tanah Jawa, upacara Sraddha tetap dilaksanakan, namun oleh Sunan Kalijaga dikemas dalam nuansa Islami yang kemudian diadakan tiap bulan Ruwah.

Ritual slametan nyadran pada tiap-tiap daerah di Jawa dilaksanakann dengan berbagai cara yang berbeda. Masyarakat pedesaan Jawa umumnya mengadakan upacara nyadran secara komunal yang diselenggarakan paad siang hari hingga sore. Masing-masing warga membuat tumpeng kecil yang kemudian dibawa ke rumah kepala dusun untuk bersama-sama mengadakan doa bersama (kenduri). Ada juga yang langsung dibawa ke makam dan mengadakan doa bersama di makam.

Menu makanan yang dipersiapkan biasanya berupa nasi gurih dan lauknya. Sebagai sesaji, terdapat makanan khas yaitu ketan, kolak dan apem. Ketiga makanan ini dipercaya memiliki makna khusus. Ketan merupakan lambang kesalahan (khotan), kolak adalah lambang kebenaran (kolado) dan apem sebagai simbol permintaan maaf (ngapura). Bagi masyarakat Jawa yang tinggal di Jogjakarta dan sekitarnya, ketiga jenis makanan itu bermakna agar arwah menemukan tempat yang damai di sisi-Nya.

Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa tradisi Ruwah adalah suatu upacara bersih desa, yang disebut juga merti desa atau sedekah bumi. Tradisi ini merupakan perwujudan rasa syukur masyarakat dan masyarakat senantiasa selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Nilai pendidikan yang dapat diambil dengan dilaksanakannya tradisi Ruwah tersebut adalah dapat dipetik pelajaran mengenai makna dan arti kegotong royongan sebagai nilai luhur kebersamaan dan kerukunan masyarakat. Selain apem, ketan dan kolak, makna yang terkandung dalam perlengkapan Ruwah yang terdiri dari nasi liwet, ayam utuh (ingkung), pisang raja, dan ubo rampenya yang lain mempunyai menyimbolkan ajaran luhur dari nenek moyang, yaitu sifat pemberani demi membela tanah air, selalu menyerahkan segala masalah kepada Allah SWT, menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, tidak bergaya hidup mewah, selalu bekerjasama dalam menghadapi tugas yang dibebankan, dan ikhlas menjalankan apa yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT serta mengajarkan bahwa manusia mempunyai kemampuan yang terbatas. Ada kekuatan yang maha besar yang mengatur mengenai kehidupan manusia di alam ini yaitu Allah SWT.

Purwanti, Deni (2008)
Njowo.multiply.com
Share this article on :

Tidak ada komentar:

 
© Copyright 2010-2011 Nita's Blog All Rights Reserved.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.